Pages

Senin, 24 Desember 2012

Anugerah Terindah dari Tuhan. part 4


Di rumah, Lani sendirian tak berdaya. Ia pusing. Ia bingung memikirkan nasib anak semata wayangnya. Ia merasa bersalah. Tapi ia merasa itu adalah hal terbaik yang ia lakukan. Raka tidak boleh mencuri, gumamnya. Ia merasa lapar dan mencoba ke dapur untuk mengambil makanan. Biasanya Raka yang mengambilkan karena ia tak bisa berjalan sendiri. Tapi, karena Raka pergi, ia berusaha sendiri. Sambil berdoa, agar anaknya tidak apa-apa. Ia berdiri pelan pelan dan mengambil piring. Tapi, tiba-tiba sekujur tubuhnya pusing, berkeringat dan praaang! Ia terjatuh dan tak sadarkan diri. Pecahan piring itu mengenai kepalanya hingga berdarah.
*****
            Pagi harinya, di depan toko mukena, Raka dibangunkan oleh pemilik toko. “Nak, kamu ngapain disini? Bukannya ibumu ulang tahun?” “Iya pak, tapi…” Raka terkejut, ia melihat sekelilingnya. Sudah hampir siang dan ia meninggalkan ibunya sendiriana di rumah semalaman. Ia bergegas ke rumah. Selama perjalanan, ia terus berdoa, memikirkan nasib ibunya yang malang itu. Rasa bersalah menggelayuti dirinya. Ia bertekad, sampai di rumah, ia akan berkata yang jujur. Yang penting ibunya menerima kadonya dan tidak menuduhnya mencuri lagi.
            Langkah Raka semakin lelah. Sesampainya di rumah, ia terkejut. Menemukan sesosok wanita yang sedang tak sadarkan diri dengan darah mengalir dari kepalanya. “IBUUU, IBUUU kenapa buuu?” Raka panik dan memanggil semua tetangga. Segera di bawa Lani ke rumah sakit terdekat.
*****

            Berjam-jam Raka menunggu di luar Unit Gawat Darurat. Ia terus berdoa. “Ya Allah, maafkan hamba ya Allah, lindungi Ibu Ya Allah”. Tak lama kemudian, dokter keluar dan menyuruh Raka masuk ke dalam ruangan. Disana, ibunya menunggu dengan lemah dan ingin berbicara dengan Raka. “Nak maafin Ibu selama ini udah bohong sama kamu”, lirih sekali, sampai-sampai Raka hampir tak bisa mendengar suara ibunya itu. “ibu kenapa bu?Maafin Raka bu. Raka mau jujur ama ibu, Raka ga nyuri bu. Raka ga jajan sebulan, Raka juga pulang jalan kaki buat ngumpulin uang untuk beli kado ibu, buu” Raka menangis, memeluk ibunya. Ia menyesali perbuatannya. Lani terkejut, ia menangis, merasa bersalah. Menuduh anak laki-laki nya, yang soleh itu mencuri. Hal yang jelas tak mungkin ia lakukan. “Maafin Ibu nak, ibu udah nuduh yang engga-engga”. “ga apa-apa bu, ibu cepet sembuh bu” Raka terus menangis. Pelukannya semakin erat. Ia tak peduli lagi, siapapun yang ada disekitarnya. Yang ia tahu, ia hanya ingin memeluk ibunya saat itu. Lama. Lama sekali pelukan itu tak terlepas sampai Raka tersadar. “Ibu? Ibu? IBUUUUUUUU” Ia mengguncang tubuh ibunya itu. Lani sudah tak bersuara. Lani hanya terdiam. Diam saja. Tak bergerak sama sekali. Hanya terpejam dan kaku. “Ibu! Ibuuuuuuuu dengar Raka gak bu!” Raka semakin panic dan memanggil dokter. Semua tetangga yang tadi hanya diam saja menunggu di luar ruangan, tiba-tiba berdiri dan ikutan panik.
*****
            Tubuh Raka bergetar. Ia takut. Takut sekali. Ia menangis sambil tersungkur di lantai. Ia berdoa dan terus memohon. Sampai akhirnya, dokter berbicara ke salah seorang tetangga Raka. Raka hanya melihat sambil terdiam. Lalu ia melihat perawat menyelimuti wajah ibunya. Dan berjalan memindahkan ibunya. “Ibu mau dibawa kemana?Ibu kenapa pingsan suster?” tanya Raka kecil. Perawat hanya diam dan  tak tega. Mereka terus berjalan. “IBUUUUUUU!” teriak Raka. Salah seorang tetangga Raka memeluk Raka dan berkata “Sabar nak”. “ibu kenapa pak?” raka ingin lari, menyusul perawat yang sedang membawa ibunya itu. “Ibumu, lagi jalan ke surga Raka. Ibu kamu meninggal”. Betapa terkejutnya Raka.
*****
            Karena ia pergi, Ibu kesayangannya itu pergi juga meninggalkan Raka. Ia mencoba sabar, tapi tak bisa. Mengapa terlalu cepat? Mengapa secepat ini? Raka tak menyangka. Raka langsung pergi ke rumahnya dan mengambil mukena, kado pemberiannya untuk ibunya itu. Ia mendapati sebuah surat. Surat yang ditulis susah payah oleh seorang wanita lumpuh, ibunya.
            “Maafin ibu, Nak. Selama ini Ibu berbohong sama kamu. Ibu ayang kamu Raka. Sebenarnya, bapak kamu belum meninggal. Tapi ibu sendiri ga tau siapa bapak kamu. Maafin ibu raka”
            Singkat saja. Raka kembali tersungkur menangis. Ia tak mengerti. Surat menggantung yang membuatnya semakin pening. Berat sekali kepalanya hingga ia tak sadarkan diri.
            Dan sekarang, Raka kecil itu sudah tumbuh menjadi pria yang tabah. Yang telah mengerti apa maksud surat ibunya dulu. Ya, aku sudah mengerti maksud ibuku. “Aku sudah tahu semuanya bu, dan aku tidak marah. Terimakasih Ibu atas pancaran kasih dan sayangmu yang tak mengenal waktu.”
             Tetesan air mataku berhenti bersamaan dengan berhentinya hujan ini. Cukup, sudah cukup aku menangis. Aku yakin, ibuku sudah bahagia di surga sana. Aku tak akan menganggu tidur ibuku lagi dengan tangisanku. Aku janji bu.

selesai :')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar