Pages

Senin, 24 Desember 2012

abu - abu


cerpen lamaa anget. dibaca-baca agak lebay ceritanya. tp diilhami dr kisah nyata. versi..agak kelabu gimanaaa gitu wkwk. ada yg dikarang kayaknya. yagitulah biar dramatis wkwk

Abu-Abu

Perkenalkan namaku Amalia Yuanita Dewanti. Aku biasa dipanggil Amel atau kadang Yede di sekolah. Aku juga biasa dipanggil Lia di rumah. Mungkin kalian bingung dengan nama Yede. Nama panggilan anehku itu terbit ketika aku duduk di kelas 7, saat masih SMP. Aku sekelas dengan anak bernama Amalia Cipta Sari, ketika SD kita sama-sama dipanggil Amel. Supaya tidak membingungkan, teman-temanku membuat inisiatif sendiri, mereka memanggil kami dengan inisial nama belakang kami. Yuanita Dewanti, diawali huruf Y dan D. Awalnya aku sama sekali tidak suka dengan nama itu, tapi lama-lama mulai terbiasa. Jadi seperti presiden yang disingkat SBY, sedangkan aku AYD hahaha.
          Sekarang aku duduk dikelas X, di SMAN 81 Jakarta. Dulu waktu SMP aku sering memuji-muji sekolahku ini. “It’s my dream school!” bisa dibilang begitu. Perjuangan masuk sekolah ini memang tak semudah yag aku kira sebelumnya, apalagi saat aku tahu nem ku yang pas-pasan. Belum lagi ini adalah sekolah RSBI, kemampuan bahasa Inggrisnya itu yang ditantang. Sedangkan aku? Dari semua nilai UN ku, bahasa Inggris adalah nilai terburuk hahaha. Apalagi waktu tes wawancara untuk masuk sekolah ini. Itu sesuatu yang paling membuatku pasrah. Entah lolos entah tidak, secara pas gurunya bilang “describe yourself”, aku hanya bisa menjawab “I’m a student and I hate English so much”. Ya, dari beberapa kalimat yang ku ucapkan saat itu, itulah yang paling menempel di otakku. Aku bingung, kenapa aku sama sekali tidak berpikiran untuk bilang “I’m student and I’m beautiful”. Suasananya memang sama sekali tidak mendukungku untuk narsis saat itu.
          Di SMA, aku dikenal sebagai anak yang bawel dan berisik. Tidak jauh beda dengan penilaian teman-teman SMP ku dulu. Aku ingat, dulu temanku yang namanya Nadiyah Rahmah bilang kalau hidupku itu selalu ada cerita baru, sampai-sampai dia menuliskan di blognya tentang kecurigaan adanya tali persaudaraan antara aku dan Raditya Dika, penulis novel kocak yang terkenal. Ada lagi, teman SMP ku juga, namanya Wibias Muliawan, dia pernah menelponku akhir-akhir ini untuk curhat tentang pacarnya si *biiip*. Dan dari suaraku ditelepon saja, dia langsung bilang “ternyata lo masih ekspresif aja ya kayak dulu”. Haha, begitulah. Oh iya, satu lagi. Artika Nuswaningrum, teman SMP ku juga. Dia pernah bilang kalau hidupku sepertinya selalu berwarna. Yeay, kuakui itu.
          Merah muda, oranye, hijau, biru, hm sepertinya warna-warna itu sudah pernah menjadi kisahku. Dan mungkin warna – warna itulah yang ada dibenak teman-temanku tentang kisahku. Tapi, ada satu warna lagi. Abu-abu, aku pun tak luput dari warna yang satu itu. Warna favoritku, tapi melambangkan sesuatu yang kelambu.

          Hm, sebenarnya kejadian itu sudah lima tahun lalu. Kira- kira umurku 10 tahun, dan beberapa bulan atau minggu lagi aku genap 11 tahun. Aku lupa tanggal pastinya, tapi sepertinya abu – abuku ini berawal dari sekitar bulan Juni.  Kejadian itu memang sudah lama, tapi aku masih bisa merasakannya saat ini. Ya, kejadian ini memang sangat tidak terlupakan, sekeras apapun aku mencoba untuk melupakannya.
          Abu-abuku ini memang tidak menyenangkan. Tapi aku belajar dari warna favoritku  ini. Aku belajar tentang hidup, ujian, kasih sayang orang tua, keikhlasan mereka, dan kekuatan disini.
          Ya, lima tahun lalu keluargaku bukanlah keluarga kaya. Lima tahun lalu, Kakakku kelas tiga SMP dan akan melanjutkan sekolahnya ke SMA. Abangku kelas enam SD dan akan melanjutkan sekolahnya ke SMP. Sedangkan aku masih kelas 5 SD,dan kami semua sedang menyicil belajar untuk ujian. Kalian tahu biaya yang harus dikeluarkan orangtuaku untuk menyambung pendidikan kami? Ya pasti sangat besar, biaya daftar dan lain lain yang tidak aku mengerti. Dulu, ayahku hanyalah staf biasa dikantornya. Dia pegawai negri sipil yang gajinya tidak terlalu besar.
          Aku kagum dengan Ayahku. Dia adalah pria terhebat yang kukenal saat ini. Mungkin, idola-idolaku seperti Gerard Pique, Mesut Ozil, Michael Jackson, Kaka, Diego Forlan, Van Persie dan lain lain pun masih kalah dengan Ayahku.Itulah yang aku lihat, lebih tepatnya, itulah yang aku rasakan. Ayahku tidak pernah malu mencari nafkah dengan cara apapun selama cara itu halal dan bisa menghidupi keluarganya. Setelah pulang kantor, Ayahku pernah mencoba untuk mengojek. Aku masih sangat ingat itu. Beliau rela bangun pagi untuk bekerja sampai sore, dan dilanjutkannya dengan mengojek sampai malam.
          Aku ingat, sehari sebelum kejadian ini dimulai, Ayahku mengojek dan mendapat uang Rp 25.000,00. Hahaha, rasanya lucu. Sepertinya dulu, untuk mendapat nominal segitu saja, Ayahku harus membanting tulangnya dari pagi sampai malam.
          Besoknya, Ayahku bekerja, tapi pagi harinya ia mengojek. Hm, mencari peruntungan sepertinya. Lalu dilanjutkan dengan ngantor sampai malam. Waktu itu, ibuku, kakakku, abangku, dan aku sedang dirumah. Yang kuingat, kita sedang menunggu pesanan mi goreng seafood kami. Aku tidak ingat betul tentang itu, tapi ibuku bilang, hari itu ibuku memasak ikan sarden. Hm, mungkin juga keduanya, yang pasti kita sedang berkumpul bersama saat itu, menunggu ayahku.
          Tiba-tiba, ada yang mengetuk pagar rumahku. Kami pun bergegas keluar untuk melihatnya. Kami mendapati tiga pemuda dengan salah seorang menggunakan motor Ayah. Ayahku dibopong tiga pemuda itu masuk ke rumah, kami pun mengeluarkan kasur kecil dari kamar dan merebahkan tubuh ayahku yang lemas itu di kasur.
          Pemuda itu duduk dan menceritakan kejadiannya pada kami. Kami mendengarkan dengan penuh rasa cemas. “Tadi si bapak kita liat jatoh ya dipinggir jalan gitu, lalu kita lihat ktp nya dan kita bawa ke sini deh, bu”, tuturnya sambil mengembalikan dompet dan KTP ayahku kepada ibuku. Ternyata ayahku memang sedang dalam keadaan perut kosong saat itu. Mungkin ia kelelahan bekerja dan terjatuh karena lemas. Tapi, tiba-tiba ayahku mulai bergerak dan seperti ingin mengatakan sesuatu. Kulihat mulutnya bergerak saat itu. Tapi, kenapa ini? Ayahku berbicara sesuatu yang sangat tidak jelas. Hatiku yang tadinya sedikit lega melihat ayahku mulai berbicara, tiba-tiba menjadi nyeri karena suara ayahku yang tambah membingungkanku. Aku panik saat itu. Haaah, sepertinya mataku mulai mendung bila mengingatnya. Tapi, ibuku sepertinya mengerti apa yang dikatakan ayahku. Mungkin karena Ayahku sedang lelah saat itu, jadi omongannya kurang jelas. Kami pun memijat ayahku. Aku benar-benar bingung kenapa Ayahku bisa sampai begini.
          Saat ingin dipindahkan ke kamarnya, kami pun membopong ayah. Tapi, kaki ayahku terasa sangat lemas. Bahkan seperti lumpuh dan tak dapat digerakan. Aku makin bingung saat itu. Apa yang terjadi sebenarnya? Ibuku menelpon pakde Toto, kakaknya ayahku dan menceritakan kalau ayahku sakit. Tiga pemuda yang tadi mengantar ayahku pun izin pulang setelah membantu ayahku ke kamar. Pakde dan om ku pun akhirnya datang ke rumah karena takut terjadi apa-apa dengan ayahku. Mereka membawa ayahku ke klinik dokter terdekat. Tapi, justru dokter itu yang tidak berani memeriksa ayahku, katanya kepala ayah harus di scan. Mereka pun membawa ayahku ke rumah sakit yang cukup besar di bekasi. Kepala ayah di scan. AH, entah berapa biaya yang harus dkeluarkan, yang penting kita tahu penyebab jatuhnya ayaku, yang membuatnya lemas dan tidak bisa jalan sendiri.
          Ibuku, bilang, ayah harus diopname dirumah sakit. “apa separah itu?”, itulah yang ada dibenakku saat itu. Ternyata hasil scan menyebutkan bahwa ayahku terkena penyempitan pembuluh darah di otak atau biasa disebut stroke. Stroke? Tak pernah ku sangka ayahku bisa terkena penyakit ini. Ayah ku, tulang punggung satu-satunya dikeluargaku, ayah yang hebat bagiku harus terkena stroke? Mungkin Allah ingin menguji kami saat itu. Aku berusaha menjalaninya dengan ikhlas.
          Ibuku tetap dirumah sakit sedangkan kami dirumah. Besoknya kami ke rumah sakit untuk menengok ayahku. Ayahku sedang terbaring lemah, tidak mampu berjalan karena tubuh sebelah kirinya diderita lumpuh,akibat serangan stroke itu. Ayahku terkena stroke karena saat itu pikirannya sedang kacau, mungkin memikirkan biaya untuk sekolah kami, anak-anaknya. Bicaranya masih kurang jelas, ya aku tahu, itu memang salah satu akibat dari penyakit stroke. Tapi kata dokter, stroke ayahku hanyalah stroke ringan dan masih bisa sembuh.
          Untungnya ada omku, salahsatu keluarga ibuku yang sedang berada di Jakarta saat itu. Ia yang membiayai pengobatan ayahku selama dirumah sakit. Biaya untuk penyakit berat seperti itu memang besar, dan mugkin karena mahalnya biaya, ayahku dipindahkan di rumah sakit yang lebih murah. Di rumah sakit pemerintah dengan menggunakan askes, agar biaya yang dikeluarkan hanya sedikit. Yah aku tidak tahu betul mengapa ayahku dipindahkan secepat itu. Dia stroke, dan ia harus menjalani pengobatan intensif, baru tiga hari mendapat pengobatan, mengapa ayahku harus dipindahkan ke rumahsakit yang kecil dan dirawat di ruang pengobatan kelas 3. Aku ingat, ibuku pernah bercerita tentang ini. Ibuku bilang, saat itu ia bingung. Ayahku dipindahkan malam hari saat ia sedang tertidur pulas. Ibuku membujuk om ku agar ayahku dipindahkan besok saja, pagi harinya, jangan malam malam seperti hari itu. Tapi tak tahu kenapa, Ayahku tetap dipindahkan saat itu juga. Ia butuh obat syaraf, ia butuh banyak istirahat, tapi kenapa dipindahkan saat itu? Hatiku nyeri saat ibuku bilang bahwa ayahku dipindahkan saat ia sedang tertidur, dalam kondisi lemah karena stroke dan infusnya dilepas. Yap, sepertinya aku menangis saat ibuku bilang begitu, bagaimana tidak? Ayahku sedang sakit, bukan sakit biasa, ia butuh kita semua, ia tidak seperti sebelumnya, ia stroke, ia tak bisa berjalan, ia tak bisa bicara banyak, ia hanya bisa diam saat akan dipindahkan.
          Saat itu juga keluarga ayah dan keluarga ibuku mengadakan pertemuan. Mereka bermaksud untuk membicarakan masalah ekonomi keluarga kami setelah kejadian ini. Yah, dipikiran kami semua saat itu adalah ayahku tidak bisa bekerja sepertisedia kala. Mereka juga membicarakan masalah kakakku, abangku, dan aku. Mereka pun memutuskan untuk menempatkan kami bertiga di rumah pakdeku selama ayah masih dirumah sakit.
          Yap, akhirnya aku dan kakak – kakakku tinggal dirumah pakdeku untuk sementara waktu yang tidak kami ketahui sampai kapan. Kebetulan rumah pakdeku itu dekat dengan SD ku saat itu dan aku hanya tinggal berjalan kaki ke sana. Aku sedang pekan ulangan saat itu. Kami tidak tidur di kamar. Bukan karena pakde ku jahat, melainkan karena memang dirumahnya tidak ada lagi kamar untuk kami, kami pun tidur di salah satu tempat di lantai atas dengan menggunakan spring bed. Banyak nyamuk pun terasa, tapi masih untunglah ada yang mau merawat kami selama ibuku merawat ayahku di rumah sakit saat itu.
          Beberapa hari disana, kakakku menceritakan tentang uang sekolahnya yang elum dibayar. Ia takut tidak mampu melanjutkan sekolah karena belum membayar iuran.
"Aku belum bayaran, de. Aku takut mama papa ga punya uang, sekolah gimana?". Ia menangis, kami ikut menangis. Apa yang bisa kami lakukan saat itu? Tidak ada. Dan malam harinya, kami menjenguk ayahku di rumah sakit dan aku menceritakan tentang uang sekolah kakakku. Ibuku pun mengambil tas nya dan berkata, “tenang kak, uang mama banyak, ini mama dapat sumbangan kok, jangan nangis lagi yang anak mama”. Kami lega saat itu.
          Kamipun pulang ke rumah pakde dengan lega. Kami dibawakan buah buahan dari kerabat yang menjenguk ayahku. Kata ibuku, buah untuk ayahku di rumah sakit sudah banyak, jadi lebih baik sebagian buat kami saja, anak-anaknya. Padahal bisa saja ibuku yang memakan buah itu, tapi ia memang lebih mementingkan keluarganya daripada dirinya. Kami pun melalui hari hari berikutnya.
          Hari berikutnya, aku dan beberapa temanku disekolah sedang mengahadapi seleksi peserta OSN. Yea, aku dan temanku Edwina Ayu Dwita dipilih walikelasku untuk mengikuti tes seleksi mewakili kelas kami. Aku tidak memberi tahu kakakku, abangku, pakdeku, ataupun bude ku saat itu kalau aku sedang seleksi. Dan ternyata mereka mengkhawatirkan aku yang belum pulang-pulang saat hari sudah sore. Bagaimana todak sampai sore? Dari hasil seleksi, aku dan Edwina yang kebetulan juga mendapat nilai tertinggi sehingga kamilah yang dibina kembali untuk OSN sampai sore. Memang aneh, OSN akan dilaksanakan esoknya, sehingga kami hanya dibina sehari, hah pembinaan kilat lebih tepatnya.
          Aku pulang ke rumah pakdeku dengan wajah sumringah karena aku teripilih mewakili sekolah saat itu. Dan aku pun menceritakannya pada orang-orang dirumah sana. Dan malam itu juga pakdeku akan menjenguk ayahku. Sedangkan aku tetap dirumahnya untuk belajar.
          Esoknya, aku kesekolah untuk OSN. Wali kelasku bertanya padaku “kamu bisa dianter sama bapakmu?”, aku pun menjelaskan kalau ayahku sedang masuk rumah sakit saat itu. Akhirnya aku dan Edwina diantar walikelasku ke tempat untuk lomba. Aku belajar IPA tapi ternyata aku didaftarkan untuk mengikuti lomba matematika. Hah, alhasil hanya sebagian kecil soal yang bisa ku kerjakan.
          Aku tidak lolos dalam tahap berikutnya, tapi keluargaku tetap senang, bahkan ternyata pakdeku menceritakannya pada ayahku saat ia menjenguk ke rumah sakit. Setelah beberapa hari, ayahku minta pulang dari rumah sakit. Ia tidak begitu membutuhkan obat ternyata, ia hanya butuh keluarganya. Sehari setelah ayahku pulang kerumah, aku dan kedua kakakku juga pulang ke rumah untuk membantu ibu yang sedang merawat ayahku. Ayahku memang masih belum bisa melakukan apa-apanya sendiri saat itu. Tapi ia sudah mampu berbicara lebih jelas dari sebelumnya. Untuk buang air kecil saja, ibuku harus mengambil toples dan terkena ciprata air kencing ayahku. Betapa hebatnya sosok ibuku. Ia ikhlas melakukan hal itu setiap hari, tanpa pernah mengeluh. Bahkan aku melihat matanya yang sedikit layu karena kurang tidur. Ia memang lebih mementingkan keluarganya daripada dirinya sendiri. Ia tak begitu peduli dengan keadaan dirinya, kerjaannya tiap hari hanyalah mengurus ayahku, berdoa, solat, menyuapi ayahku makan, mengurus kami, tanpa sempat sesekali memikirkan dirinya.
          Ayahku mulai belajar berjalan, dan melalui pengobatan alternative. Yah, akhirnya ayhku bisa berjalan walaupun masih terttih tatih. Taka pa setidaknya aku sudah bisa melihat ayahku berjalan. Beberapa minggu kemudian adalah hari pembagian rapor. Ayahku yang mengambil raporku, walau ia belum bisa berjalan dengan baik, tapi ia ingin mengambil raporku. Tapi sayangnya aku membuatnya kecewa, aku mendapat peringkat kedua dikelas. Padahal dulu, aku sering sekali, bahkan selalu peringkat satu. Seperti mulai dari situ lah aku mulai terbiasa tidak menapat peringkat satu di kelas kelas senlanjutnya.
          Pengumuman hasil UN SMP dan hasi TAU SD pun keluar. Kakakku berhasil masuk ke SMAN 71 Jakarta, tapi karena biaya kami terbatas untuk uang pangkalnya, kakakku pindah rayon ke bekasi dan masuk SMAN 3 bekasi. Aku salut sekali dengannya, ia tak mengeluh walau harus sekolah di sekolah murah dan di sekolah yang tidak ia pikirkan sebelumnya. Abangku pun juga masuk SMPN 139 Jakarta. Aku sangat salut dengan mereka, padahal saat mereka ujian, orang tua kami sedang tidak bersama kami, dan sepertinya hanya aku yang mengecewakan saat itu. DItambah lagi ternyata kakakku mendapat peringkat 2 dikelasnya. Hah, memang hebat dia, semangat belajarnya tidak turun dalam keadaan apapun.
          Akhirnya, ayah ku pun mulai bisa bekerja seperti biasa, dimulai dari belajar jalan, lalu belajar berjalan cepat, naik sepeda sampai akhirnya ayahku sudah bisa naik motor. Tak perah kupikirkan sebelumnya kalau ayaku bisa sembuh seperti ini. Aku pun sadar, ketika kita dilahirkan di bumi, Allah tidak menjanjikan kehidupan yang mudah bagi ciptaanNya, tapi ia menjanjikan kebahagiaan bagi makhlukNya yang mampu menjalani itu semua. Yap, kalimat itulah yang membuatku sadar, kalau ternyata abu-abuku ini bukanlah lembar gelap di hidupku. Abu-abuku ini adalah lembaran kerja yang membuatku untuk belajar dan terus berusaha dalam menjalani hidup. Di abu-abuku inilah aku belajar tentang keikhlasan orang tua kepada anaknya, keinginan orang tua untuk melakukan yang terbaik untuk anaknya dan kerja keras orang tua demi keluarganya.
          Dan di abu – abuku ini lah aku mulai merasa, hidup menjadi orang yang baru, yang terus berkaca, dan terus melangkah ke depan sebagai orang yang lebih baik lagi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar